Konflik Antar Kelompok | Softskill | Ilmi Sosial Dasar.

      Konflik horizontal antar umat beragama Islam dengan umat beragama Kristen diawali dengan adanya kerusuhan pada tanggal 19 Januari 1999 bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Bermula dengan perkelahian pemuda keturunan Bugis yang beragama Islam dengan pemuda asal Mardika beragama Kristen. Pemuda asal Mardika yang bekerja sebagai supir angkot ini dimintai uang oleh pemuda keturunan Bugis tadi yang dikenal sebagai preman, kejadian ini terjadi di terminal Batu Merah. Karena pemuda asal Mardika tersebut tidak dapat memenuhi keinginan pemuda keturunan Bugis tadi. Kejadian ini terjadi berulang sampai tiga kali dan tetap pemuda asal Mardika ini tidak dapat memenuhi keinginan pemuda keturunan Bugis sehingga menimbulkan amarah dan perkelahian diantara mereka. Mereka adu pukul dan ingin membunuh satu sama lain.

      Pemuda asal Mardika ini merasa terancam dan dia pulang kerumah mengambil parang dan kembali lagi ke terminal Batu Merah untuk menemui preman tersebut. Kemudian terjadilah aksi kejar-kejaran dimana preman tersebut berlari masuk ke kompleks pasar Desa Batu Merah. Kemudian preman tersebut ditahan oleh warga Batu Merah dan ia ditanyai tentang permasalahan yang terjadi, maka preman tersebut menjawab dengan jawaban bahwa “ia akan dibunuh oleh orang Kristen”. Jawabannya ini kemudian memicu terjadinya kerusuhan yang terjadi di Ambon yang dimana antara warga Muslim dengan warga Kristen saling menyerang. Warga Muslim menyerang warga Kristen dan sebaliknya warga Kristen yang muncul untuk mempertahankan diri.

      Awalnya masa Muslim muncul dari Desa Batu Merah bangkit menyerang warga Kristen di kawasan Mardika yang merupakan tetangga Desa Batu Merah dengan menggunakan berbagai alat tajam seperti parang, tombak, panah dan lain-lain dengan menggunakan ikat kepala warna putih yang seragam. Mereka sempat melukai dan membakar rumah-rumah warga Kristen. Demikian pula pada saat yang bersamaan beberapa lokasi pemukiman Kristen seperti Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, Silale, dan Waihaong serta mendengar bahwa gereja Silale telah dibakar maka bangkitlah amarahnya dan kemudian melalukan penyerangan balik ikut diserang oleh kelompok Muslim yang menyebabkan beberapa warga Kristen terbunuh, ratusan rumah dibakar dan sebuah gereja di kawasan Silale dirusak dan kemudian ikut dibakar.

      Warga Kristen yang mendiami Batu Gantung, Kudamati dan sebagainya setelah mendengar penyerangan warga Muslim terhadap warga Kristen di Mardika, Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, kawasan Silale, dan Waihaong Konflik berkembang dengan sangat pesat dengan sebab-sebab yang tidak sepenuhnya dimengerti oleh masyarakat setempat. Konflik tersebut meluas dan disertai dengan aksi-aksi pembakaran rumah-rumah warga dan tempat ibadah, pembunuhan serta penghancuran fasilitas-fasilitas umum. Konflik ini menjadi semakin meluas dan banyak terjadi kerusuhan dimana-mana hal ini disebabkan karena adanya isu SARA yang disebarkan oleh orang-orang yang berkepentingan.

Konflik ini terjadi dengan latar belakang yang berbeda yang mana terjadi dalam empat babak yaitu:

1. Januari-Maret 1999.

      Peristiwa sepele, dan dianggap biasa oleh masyarakat, yaitu konflik antara preman Batu Merah yang beragama Muslim dengan supir angkot yang beragama Kristen. Yang kemudian menyebabkan pertikaian antar kelompok agama dan suku bangsa yang kemudian meledak menjadi kerusuhan yang besar di Ambon. Akhirnya kerusuhanpun meluas keseluruh pulau Ambon tanpa dapat terkendali. Kota dan desa-desa di Ambon dibakar dan diratakan dengan tanah. Kerusuhan yang berlarut-larut itu memakan banyak korban jiwa.

      Kota Ambon dan sebagian desa-desa sekitarnya tersegregasi ketat dan terbagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah Islam dan Kristen. Masyarakat dan wilayah Kristen disebut dengan merah, dan yang Muslim disebut dengan putih. Pemerintah daerah, aparat keamanan, pemuka-pemuka agama dan adat kemudian sibuk melakukan rekonsiliasi dengan berbagai gebrakan. Upacara Panas Pela dilakukan disana-sini, sehingga pada akhir Maret sampai dengan pertengahan Juli 1999, Ambon mulai reda dari kerusuhan besar.

2. Juli-November 1999.

      Suasana Ambon dalam keadaan tenang-tenang tegang bersamaan dengan adanya kampanye menjelang pemilu. Setelah pemilu ketegangan pun meningkat dan pecah didaerah Poka dan kemudian meluas di bagian lain di ambon. Segregasi semakin ketat. Di Ambon hanya tersisa satu desa yang masyarakatnya masih tetap berbaur yaitu Wayame. Masyarakat semakin mempersenjatai diri dengan berbagai bentuk senjata, mulai dari parang.

3. Akhir Desember 1999-Pertengahan Januari 2000.

       Pada saat itu konflik mereda namun kesiap siagaan masih tinggi. Hal ini terjadi di Pulau Seram dan Pulau Buru. Tanda-tanda akan meledaknya kerusuhan menguat setelah adanya kunjungan dari presiden dan wakil presiden konflik kembali memanas dan terjadi lagi kerusuhan diberbagai wilayah. Akibatnya banyak korban jiwa yang berjatuhan.

4. April-Agustus 2000.

      Situasi di Ambon sudah kembali tenang sedangkan upaya rekonsiliasi dilakukan di berbagai tempat. Tapi gerakan Jihad yang berpusat di Yogyakarta, Jakarta, Bogor mulai meresahkan masyarakat Ambon. Isu-isu tentang ancaman Jihad mulai muncul dan pernolakan kedatangan Jihad muncul juga dari masyarakat Muslim, apalagi Kristen. Setelah wakil presiden berkunjung di Ambon dalam acara SBJ, yang juga dihadiri oleh kelompok Milisia Batumerah yang beragama muslim dengan Kudamati yang beragama kristen, meyebabkan kerusuhan mulai merebak dan menjadi berkepanjangan.

     Ketidak mampuan pemerintah untuk menangani konflik menyebabkan kebangkitan Front Kebangkitan Maluku (FKM) pada 2000 yang merupakan sebuah gerakan yang mengangkat warisan Republik Rakyat Maluku (RMS). RMS kemudian dianggap sebagai gerakan Kristen yang memperburuk dinamika konflik antar Agama.

      Awal mula atau sumber terjadinya konflik antara warga yang beragama Islam dengan warga yang beragama Kristen. Dilihat secara mendalam sebenarnya konflik yang terjadi di Ambon bukanlah murni konflik yang disebabkan karena atas dasar agama, tetapi faktor ekonomi, sosial, dan politk juga menjadi penyebab konflik ini. Jika dilihat melalui sejarah dalam kehidupan di Ambon, yang dimana wilayah Ambon ini terbagi menjadi dua komunitas agama yaitu Islam dengan Kristen. Dimana kelompok identitas Kristen pada awalnya memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok identitas agama Islam karena segregasi yang diberikan oleh Belanda pada jaman penjajahan. Pemerintahan Belanda pada masa kolonial menganggap Kristen lebih unggul dibandingkan dengan Islam.

      Konflik antara agama Islam dengan Kristen yang terjadi merupakan hasil pandangan setiap kelompok dalam kehidupannya bersama. Adanaya perbedaan yang ditunjukkan dengan kesenjanagan ekonomi membentuk interpretasi setiap kelompok dalam memberikan pandanagan nilai terhadap kelompok lain. Hal itu yang menimbulkan adanya prasangka negatif kelompok Kristen terhadap kelompok Islam dinAmbon pada jaman Orde Baru. Posisi kelompok islam lebih tinggi dengan kondisi ekonomi yang lebih baik karena berprofesi sebagai pedagang dan juga mendapatkan posisi pada pemerintahan yang menjadikan mereka melakukan dominasi terhadap kelompok agama Kristen.

      Melalui interaksi yang terjadi kelompok Islam merasa termarjinal dalam struktur masyarakat Ambon sehingga memiliki rasa kompetisi ekonomi dengan kelompok Kristen. Namun hal ini berbalik arah karena pada masa Orde Baru kelompok Islam memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok Kristen karena banyak pedagang Islam yang menjadi intelektual ekonomi sehingga ditempatkan pada posisi pemerintahan. Karena adanya kesenjangan antara kelompok Kristen dengan Islam maka timbullah konflik yang mengatas namakan agama sebagai penyebab konflik yang awalnya hanya pertikaian antara orang perorangan.

      Konflik ini meluas karena adanya isu SARA yang disebarkan oleh orang-orang atau kelompok yang berkepentingan sehingga konflik ini menjadi berkepanjangan dan terjadi tidak hanya satu kali saja tetapi terjadi dalam empat babak. Secara garis besar konflik yang terjadi di Ambon ini terjadi karena latar belakang yang berbeda yaitu ada aspek sosial ekonomi, politik, dan agama. Sebenarnya pertikaian antara supir angkot dengan preman ini merupakan peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang menyebabkan pertikaian antara kelompok agama yang terjadi di Ambon. Hal ini dipicu oleh adanya isu SARA tadi dan masyarakat Ambon ini seakan-akan diadu domba antar agama Islam dengan Kristen.

      Sebenarnya antara masyarakat baik beragama Islam maupun Kristen yang ada di Ambon ini sebenarnya mempunyai tradisi Pela Gandong yang gunanya untuk mempersatukan masyarakat atas dasar perbedaan yang ada baik agama, suku, maupun tujuan yang berbeda. Selain itu juga sebagai media penyelesaian konflik apabila terjadi konflik antar masyarakatnya. Namun, Pela Gandong ini sudah luntur seiring dengan berkembangnya zaman dan semakin banyaknya pendatang yang datang maka menyebabkan tradisi ini hilang. Akibatnya Pela Gandong sudah tidak dapat menjadi lembaga mekanisme penyelesaian konflik lagi. Sementara pada saat ini Pela Gandong telah digantikan dengan pendekatan keamanan (ABRI) dimana jika terjadi konflik maka akan dikenakan sanksi berat.

      Peristiwa kerusuhan Ambon adalah merupakan hasil proses akumulasi konflik antar kelompok yang pada mulanya bersifat lokal, namun dengan adanya keterlibatan peran-peran tertentu dari sejumlah provokator serta kurangnya perhatian dan penanganan aparat keamanan berubah menjadi kerusuhan dengan skala dan kerusakan yang luas dan fatal. Dari sudut tanggung jawab pengamanaan, dari adanya kerusuhan di Ambon terdpat kejanggalan dalam peran aparat keamanan dan militer. Hal ini terlihat bahwa disebagian wilayah ada anggota aparat keamanan membiarkan laju pergerakan kerusuhan terjadi sementara dilain tempat aparat keamanan justru menahan laju pergerakan kerusuhan yang terjadi.

      Dilokasi tertentu ada fakta yang menunjukkan bahwa adanya semacam pengorganisasian yang cukup rapi dalam peristiwa tersebut, mulai dari penciptaan prakondisi, pemanfaatan potensi konflik lokal, terlihatnya para provokator dan penggerak masa yang dilengkapi dengan sarana komunikasi yang canggih dan senjata api, serta pembagian senjata tajam oleh anggota aparat keamanan kepada beberapa masa yang saling bertikai. Hal ini menimbulkan kecurigaan, yaitu kemungkinan sebagian anggota aparat keamanan dan militer telah memberikan kemudahan bagi terjadinya kerusuhan.

      Jika dilihat dari penyebab sesungguhnya konflik Ambon ini karena adanya kesenjangan sosial dan ekonomi yang sebenarnya merupakan konstruksi pemerintah sebagai agen dalam mekonstruksi struktur ekonomi dalam masyarakat Ambon. Konflik yang terjadi ini memiliki pola hubungan yang horizontal dimana ada hubungan antara kelompok agama Kristen dengan agama Islam serta pendatang. Namun konflik yang terjadi juga merupakan hasil dimensi vertikal antara masyarakat dan pemerintahan, dimana sistem pemerintahan mengkonstruksi struktur yang ada dalam masyarakat di Ambon.

      Dalam menyelesaikan konflik ini hendaknya dilakuakan secara transparan dengan mediasi wilayah dengan melibatkan seorang mediator yang netral serta tidak memihak satu sama lain dalam mengatasi masalah. Terutama masalah yang sangat prinsip yang terjadi di masyarakat yaitu isu SARA terutama tentang agama. Dimana dalam hal ini masyarakat dituntut dan menyalurkan ide-ide yang pemecahannya dianggap sesuai dengan karakter masyarakat dan diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Dalam hal ini masing-masing pihak yang bertikai harus menahan diri, kesediaan memahami apa yang sudah terjadi, kesediaan untuk mau mengerti dan mau menghargai perbedaan yang ada sehingga perdamaian dapat terjalin.

Komentar

Postingan Populer